Di Indonesia, Aksi Protes Sudah Ada Sejak Jaman Kerajaan





-
Aksi protes hampir terjadi setiap hari di Indonesia. Sejak reformasi digulirkan, hak menyatakan pendapat di depan umum pun diakui. Maklumlah, selama 32 tahun kekuasaan orde baru, hak itu sangat dilarang untuk dipergunakan.
Meski begitu, pemerintah kita, entah yang berbaju reformis sekalipun, selalu alergi dengan aksi-aksi protes. Padahal, protes adalah hal yang lumrah dalam negara demokratis. Toh, setiap orang tidak mungkin dipaksa punya sikap dan pilihan yang sama.
Jika ditanyakan: dari mana datangnya tradisi aksi protes? Sebagian diantara kita, utamanya yang malas membuka lembaran sejarah bangsa sendiri, tentu mengira tradisi itu datang dari Eropa. Ya, bisa saja ada yang bilang, “Itu tradisi dari revolusi Perancis, Rusia, dan lain-lain.”
Tetapi, rupanya, tradisi aksi protes sudah dikenal di negara kita sejak lama. Persisnya, di jaman kerajaan dulu, atau sering disebut: Feodalisme. Mohamad Hatta, Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang cerdas itu, menyebut tradisi protes sebagai ‘hak rakyat Indonesia yang asli’.
Dalam tulisannya, Tuntut Kemerdekaan Pers, Bung Hatta merujuk pada dua prinsip hukum adat Indonesia: Rapat, sebagai tempat utusan rakyat mencari permufakatan, dan Hak Rakyat untuk membantah secara umum (recht op massa-protest).
Raja-raja nusantara yang paling lalim sekalipun, kata Bung Hatta, tidak pernah melanggar hak-hak rakyat tadi. Dengan demikian, hak protes sudah seperti harta pusaka bangsa Indonesia yang dipunyai sejak lama.
Langit Kresna Hariadi, yang menulis buku tentang Gajah Madah, patih Majapahit yang terkenal itu, sempat menyentil praktek aksi protes di era Majapahit. Ia menyebut tentang adanya tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.
Dahulu, di masa Kerajaan Surakarta, misalnya, tradisi protes ini juga sudah dikenal. Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton.
Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau “tapa pepe” itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku “tapa pepe” hanya perorangan, raja biasanya langsung merespon dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.
Di luar masyarakat Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis. Bahkan, seperti dicatat oleh sejarahwan Bugis, Prof Dr Mattulada, hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem norma.
Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal kata demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)
Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.
(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)
Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:

1. Mannganro ri ade’ : hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.

2. Mapputane‘ : hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.

3. Mallimpo-ade’ : protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.

4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) jikalau raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.

5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “Suaka Politik” ke negara lain.

Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.